MAKALAH
WHO IS AL- GHAZALI ?
SIAPAKAH SOSOK IMAM AL-GHAZALI
OLEH :
KHAFIDIN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM’16B
KATA PENGANTAR
Puji serta
syukur kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kebaikan dan
karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat dan sedikitnya bisa diambil ilmunya.
Harapan kami
dengan menyelesaikan makalah ini semoga mendapatkan keridahaan Allah SWT.
Meskipun makalah ini jauh dari kesempurnaan maka alangkah baiknya jika ada
penambahan yang kurangnya mohon kritik
dan sarannyanya.
Oleh karena
itu, makalah ini bisa menjadi tambahan ilmu kepada pembaca dan teman-teman
semua dan bisa berbuah amal bagi kami.
Bandung, 13 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I:
PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar Belakang
Masalah..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
C.
Tujuan Penulisan................................................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.
Biografi
Al-Ghazali............................................................................................ 2
B.
Epistimologi
Filsafat Al-Ghazali........................................................................ 3
C.
Teori
Ketuhanan Menurut Al-Ghazali............................................................... 8
D.
Pencipta Alam Semesta
Menurut Al-Ghazali.................................................... 10
E.
Etika Dalam
Pandangan Al-Ghazali.................................................................. 11
F.
Hubungan
Sebab-Akibat Menurut Al-Ghazali.................................................. 15
G.
Kritik
Al-Ghazali Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim.................... 16
BAB III: PENUTUPAN...................................................................................... 19
A.
Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia Islam, Filsafat menjadi kajian yang gencar dibahas oleh para
filosof Muslim dan sempat terjadi perdebatan dan pertikaian dalam memahami
tentang ketuhanan, emanasi atau penciptaan alam, jiwa. Takdir dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan pendapat tidak terelakan di antara para filosof
Muslim yang kemudian sempat mundurnya kajian filsafat dalam dunia Islam. Salah
satu ulama yang menkritik dengan pemikiran para filosof adalah Hujjatul
Islam, Imam Al-Ghazali.
Menurut
Al-Ghazali para filosof Muslim banyak yang keliru terutama mengenai penciptaan
alam yang banyak dirumuskan oleh mereka dengan teori emanasinya. Dalam bukunya Tahaafut
al-Falasifat, beliau mengkritik pemikiran para filosof yang menurutnya
keliru, sekitar ada dua puluh masalah dana da 3 masalah yang menurutnya para
filosof keluar dari keislaman.
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariah,
menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan
sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa
mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan
maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali
menghentikan akal pada batas-batas tertentu dan hanya naql-lah yang bisa
melewati batas-batas ini.
Dengan pemikiran-pemikiran yang brilian dan kritiknya terhadap para
filosof Muslim dalam kajian filsafat menjadi pembahasan yang sangat menarik
untuk dipelajari dan ditelusuri lebih dalam. Oleh karena itu, penulis dalam
makalah ini akan membahas tentang “Epistimologi Islam Menurut Al-Ghazali.”
B. Rumusan Masalah
1. Siapa Al-Ghazali?
2. Bagaimana pemikirannya dalam filsafat Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Unruk mengetahui siapa Al-Ghazali
2. Untuk mengetahui pemikirannya dalam Filsafat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali
Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi
Khusrasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan Persia
asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ia (orang tuanya)
hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga
terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama.
Al-Ghazali merupakan seorang ahli hukum, teolog filosof, dan sufi.
Pertama-tama Al-ghazali memusatkan perhatiannya pada pelajaran yurisprudensi
(fiqh) dengan salah seorang Radzkani, kemudian berpindah ke Jurjan di mana ia
meneruskan studinya dengan Abu Qasim al-Isma’ili. Meskipun begitu, gurunya yang
paling besar adalah Al-Juwayni, seorang teolog Asy’ari yang terkemuka saat itu.
Al-Juwayni memprakarsai muridnya yang brilian ini ke dalam studi kalam,
filsafat dan logika. Perkenalannya dengan teori dan praktek mistikisme adalah
berkat jasa al-Farmadzi, seorang sufi terkemuka saat itu.
Pada tahun 1091 sampai 1095, Al-Ghazali dipercaya sebagai kepala sekolah
Nidhamiyah Bagdad, memberikan kuliah dalam bidang ilmu hukum dan teologi dengan
memperoleh sukses yang besar. Situasi politik yang rawan saat itu, dan kematian
nidham al-Mulk akibat tindak kekerasan seorang pembunuh Isma’iliyyah pada
tahhun 1092 disusul kemudian oleh kematian Sultan Malikshah, tampaknya telah
menambah beban kekecewaannya yang berangsur-angsur terhadap kegiatan
mengajarnya. Prakarsanya ke dalam praktek jalan sufi, antara 1093-1094, tidak
pelak lagi menambah keyakinannya akan kesia-siannya suatu karier yang tidak
diabadikan kepada pencarian kebenaran yang tanpa pamrih atau pengabdian kepada Tuhan.
Selama waktu itu ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan
pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati
oleh lahiriyah (fisioterapi). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkannya pada
tahun 484 H, untuk menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan
menulis, selama kurang lebih dua tahun, dengan jalan tasawuf sebagai jalan
hidupnya.
Banyak para filosof mengakui bahwa Ghazali adalah memiliki suatu
keganjilan di zamanny itu, dalam penyelidikan dan ketajaman otaknya. Banyak
ilmu yang dipelajarinya dan dalam perantauannya mencari ilmu itu tidak lupa
beliau terjun dalam renungan tasawuf, merenung dan memikirkan rahasia alam dan
rahasia hidup. Dari renungan dan pemikirannya itu didapatinya pegangan utama
dalam hidup beragama, yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Buah penanya yang
mengagumkan zamannya menyebabkan Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (pembela
Islam) dan Zainuddin (hiasan agama).
Dalam filsafat Islam Ghazali dikenal sebagai orang yang pada mulanya
ragu terhadap segala-galanya, terutama mengenai beberapa aliran dalam ilmu
kalam yang saling bertentangan. Aliran manakah yang betul-betul benar di antara
aliran-aliran itu itu menjadi renungan beliau.
Zaman al-Ghazali ini memang terkenal dengan zaman yang penuh pertikaian
da pertentangan. Dengan adanya pertikaian dan pertentangan besar itu,
Al-Ghazali mulai kehilangan pegangan dan berusaha mendapatkan pegangan teguh
kembali dengan jalan menyelami lubuk filsafat dan agama.
Karya-Karya
Al-Ghazali di antaranya;
1) Tahaafatut al-Falasifat
2) Al-Munqiz min adl Dlalal
3) Ihya Ulumuddin
4) Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
5) Maqasid al-Falaasifat
6) Mizan al-‘Amal
B. Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi
kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam
‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan
terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut
al-Falasifah, serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan
olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju
kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali
memang memberikan kesan seperti itu, namun bila ditelaah yang lebih luas dan
mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa
bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran
teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau
penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya
terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya,
maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab,
Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya
bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya,
tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari
falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al
Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta
pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan
pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda
senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang
diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya.
Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada
orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular
dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu
tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih
banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang
tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap
pengetahuanku”. (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang
meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat
yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk
intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada
pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan
indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961).
Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma
empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara
hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil
pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini
aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya,
penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu.
Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat
sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga
melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur
menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu
disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa
hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak
dapat disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma
empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat
dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran
yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas
Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal
diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak
ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami
sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya
tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi.” (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum
juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan
dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia
tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah
diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis
bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia
menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin,
Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
“Mungkin tidak
ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan
yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga;
atau bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara;
tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu
yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti
dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama.” (Al-Ghazali, 1961).
“……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian
aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun
menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam
batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada
sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita
mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan
membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti
kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan
sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat
tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan
mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan
baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan
terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya
selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala
yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak
pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
“……Apa yang
dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati,
sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain
Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah
tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali
dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah
(terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian
langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang
merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah
seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang
diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya
bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap
(tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup
luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia
sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani
itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya
kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia
juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus
pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant
mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga
melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting
bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang,
didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah
epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme
dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh
empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik
paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya
mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak
berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma
epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu
rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Al-Ghazali membentuk 3 konsep
epistemologinya :
Ia mengenal tiga macam sarana pokok
pencapain ilmu sesuai obyek masing-masing, yaitu pancaindera untuk dunia
fisis-sensual, akal untuk dunia rasional, dan intuisi untuk dunia transrasional
sampai batas tertentu. Karena itu, untuk memperoleh ilmu non- a priori ada dua
metode. Pertama, metode penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual
atau skriptural, terutama dengan logika peripatetik atau mantik dengan ketiga bentuknya
(deduksi, induksi dan analogi-komparasi) serta “teori penafsirannya”. Kedua,
metode kasyfi melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadlah (latihan
mental-spiritual), berupa tazkiyah (pembersihan diri dari segala sifat dan
akhlak tercela), dan tahliyah (pengisian diri dengan segala sifat dan akhlak
terpuji), termasuk zikir kepada Allah seperti dalam meditasi. Kedua metode
tersebut secara keseluruhan merupakan sebuah sistem pencapaian ilmu yang bisa
disebut “Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi ke dalam tiga fase yaitu : fase
pra-penelitian, fase epistemologi I (empirik-rasional) dan fase epistemologi II
(kasyfi). Dengan demikian, epistemologi al-Ghazali berbeda dengan
empirisme-positivisme, rasionalisme (kritis), intuisionisme dan fenomenologi,
melainkan sebuah sistem sintetik-integralistik. Ia merupakan kombinasi dari
logika peripatetik dengan berbagai unsur lain, termasuk ilmu ushul fiqh dan
sufisme.
Sesuai dengan asumsi dasar
ontologisnya, yang lebih melihat sesuatu sebagai being qua being, tanpa menapikan
aspek proses dan pemahamannya, al-Ghazali menganut konsep kebenaran
korespondensial, yaitu bahwa suatu kepercayaan, persepsi, tesis, teori atau
hukum, adalah benar jika sesuai dengan realitas obyeknya, dan bahwa kebenaran
mengenai obyek yang sama dalam aspek yang sama adalah tunggal. Karena itu
penggabungan dua hal yang kontradiktif irrasional. Tetapi pengartikulasian
realitas sendiri bisa variatif sehingga dimungkinkan adanya sintesis. Namun
demikian al-Ghazali mengakui pula kebenaran koherensial sebatas kebenaran
formal-rasional. Ia menolak kebenaran pragmatis dan yang serupa dalam dimensi
epistemologi yang berbicara tentang fakta, meskipun fungsi dan nilai pragmatis sesuatu
diperhatikan dalam dimensi aksiologinya.
Menurutnya, kebenaran ilmu inferensial
(iktisabi) pada dasarnya probable (aktsari), tentatif (zanni) dan testable
(nazari, taftisyi, yurajjah al-ba’dl bi al-ba’dl), yakni harus diuji
berdasarkan kriteria tertentu, baik secara falsifikatif maupun verifikatif.
Kriteria itu sebagai berikut : untuk dunia fisis adalah korespondensialitasnya
terhadap obyek menurut bukti- bukti empirik-sensual yang dikontrol oleh akal.
Untuk obyek metafisis dan transmetafisis dari sudut falsifikasi adalah
konsistensi dan koherensi menurut persyaratan logika peripatetik, dan dari
sudut verifikasinya adalah tes religious experiences (pengalaman keagamaan)
yang tetap dikontrol oleh akal dan logika.
Al-Ghazali menunjukkan tiga model
klasifikasi ilmu, yaitu model ontologis yang berorientasi pada obyek ilmu,
model epistemologis yang berorientasi pada sumber ilmu dan cara memperolehnya,
dan model aksiologis yang berorientasi pada fungsi dan struktur ilmu dalam
kaitannya dengan tujuan akhir ilmu sendiri.
C. Teori Ketuhanan Al-Ghazali
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariah,
menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan
sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa
mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan
maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali
menghentikan akal pada batas-batas tertentu dan hanya naql-lah yang bisa
melewati batas-batas ini. Mengenai problematika sifat-sifat Allah, al-Ghazali
memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari sehingga ia tidak menerima pendapat
yang dikemukakan oleh kaum Hasywiah maupun Muktazilah, karena kedua aliran ini
ekstrim. Aliran Hasywiah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat
al-Quran dan al-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat,
sehingga mereka antropomorfis. Sebaliknya Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam
menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang
paling baik adalah tengah-tengah. Menurut al-Ghazali, Allah adalah satu-satunya
sebab bagi alam. Alam ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena
kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-maujudat), sedangkan
ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu
antara benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Ghazali mengagumi pemecahan masalah
melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asy’ari. Pemecehan ini ia tingkatkan
dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.[1]
a) Sumber Pengetahuan tentang Tuhan
Al-Ghazali mengatakan bahwa eksistensi
Tuhan adalah sebagai Wajibul Wujud yang tidak membutuhkan
sesuatu apapun, maka ia adalah Zat Tuhan, yaitu Zat ghair
mutahajis artinya tidak memerlukan sesuatupun dalam eksistensi-Nya.
Sumber pengetahuan tentang Tuhan
adalah melalui kalbu dengan cara pemecahandalam wujud cahaya. Al-Ghazali
memberikan penjelasan bahwa keraguan yang bersifat filosofis dapat mengantarkan
pengetahuan indrawi. Pegetahuan tersebut adalah pengetahuan intuitif yang
didapat seseorang melalui akal sehat dengan cara ilmiah, maka tidak ada
keraguan sedikitpun.
b) Cara Memperoleh Pengetahuan
tentang Tuhan
Pengetahuan tentang Tuhan menurut
Al-Ghazaki diperoleh lewat cahaya. Cahaya yang diberikan Allah adalah yang
berupa citra akal pikiran manusia, seketika menjadi jernih dan bersih tanpa
adanya intervensi perasaan maupun angan-angan. Manusia dapat memperoleh cahaya
tersebut, sebab merupakan mkhluk Allah yang sesuai citra-Nya dan cahaya yang
ada pada-Nya.
D.
Penciptaan Alam Semesta menurut Al-Ghazali
Tentang
penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi
yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd,
berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak
pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi
Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa
alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada
simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini
berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi
Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping
adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim
sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya.
Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak
azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada
awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa
pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para
filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil
berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak
atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Dalam rangka
menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd
menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan
sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan
dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
Menurut
Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat
diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam),
tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya
Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat).
Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa
kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh
Tuhan.
E.
Etika dalam Pandangan Al Ghazali
Bisa dikatakan, Al-Ghazali adalah
orang pertama yang memproklamirkan kajian tentang etika. Studi-studi tentang
etika sebelumnya tidak begitu sempurna sampai akhirnya beliau menggelutinya
dengan memberikan penjelasan dan sistematika yang runtut dan pemahaman yang
mendalam. Beliau lah orang Islam yang pertama kali membukukan disiplin etika
dengan kajian filosofis. Beliau menyusunnya berdasarkan semangat keislaman
sufistik dan menggunakan berbagai studi filosofis. Al-Ghazali memberikan nama
ilmu ini dengan beberapa nama seperti,
“Ilmu Jalan Menuju Akhirat”, “Ilmu Akhlak”, “Rahasia-rahasia interaksi
keagamaan” dan juga “Akhlak orang-orang
baik”. Ilmu etika menurut Imam Al-Ghazali merupakan ilmu praktis dan bukan ilmu
melalui proses penyingkapan.
Ilmu etika adalah ilmu yang membahas
tentang amal perbuatan lahiriyah dan apa yang seharusnya dilakukan oleh
seseorang agar perilakunya sesuai dengan semangat syariat. Menurut Imam
Al-Ghazali akhlak memiliki empat makna: 1. Perbuatan baik dan buruk. 2.
Kemampuan untuk melakukan keduanya 3. Kemampuan untuk mengetahui keduanya. 4.
Kecenderungan jiwa kepada perbuatan baik dan buruk. Teori Al-Ghazali ini
sejalan dengan empat teori keutamaan yang yang diserukan oleh Plato yaitu:
hikmah (wisdom) kebijaksanan, keberanian, kesucian dan keadilan.
Beliau berpandangan bahwa keutamaan
merupakan moderasi antara dua ekstrimitas yang juga dikembangkan oleh
Aritoteles. Beliau berkata, “Barang siapa yang mampu menyeimbangkan perkara ini
dan mampu menjadikan itu sebagai kebiasaanya maka itulah yang disebut dengan
akhlak baik secara mutlak, dan barang siapa yang mampu melakukan itu
sebagiannya saja sedangkan sebagian yang lain tidak dilakukan maka itu termasuk
akhlak baik”. Artinya orang yang memperbaiki beberapa bagiannya saja tanpa yang
lain, dan memperbaiki potensi amarahnya, serta menyeimbangkannya disebut sifat
baik, sedangkan orang yang memperbaiki potensi syahwat dan menyeimbangkannya
dianggap telah menjaga kehormatan. Jika potensi amarah lebih dominan daripada
penyeimbang yang membawa kepada semakin bertambahnya syahwat disebut ektrim. Jika
potensi amarah cenderung semakin mengendor maka itu disebut penakut dan
dianggap sebagai sebuah kelemahan. Jika potensi syahwat cenderung bertambah
maka yang demikian itu disebut tamak atau loba. Jika potensi syahwat cenderung
melemah maka yang demikian itu disebut statis, sedangkan sifat statis termasuk
sifat yang hina dan tercela.
Hikmah adalah kondisi jiwa yang
dapat mengetahui perbuatan baik dari perbuatan salah pada semua perbuatan yang
telah dipilih oleh seseorang. Yang dimaksud dengan keadilan adalah kondisi atau
kemampuan jiwa mendeteksi perasaan marah dan syahwat serta dapat membawa
keduanya ke puncak hikmah, mendeteksi keduanya secara bebas dan mampu
menekannya sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan
keberanian adanya kekuatan amarah yang berawal dari rasio dalam menunjukkan
sekaligus mengisinya. Sedangkan yang dimaksud dengan iffah adalah meminjam
potensi syahwat dengan manajemen akal dan manajemen agama.
Keseimbangan dari prinsip-prinsip
ini semuanya akan memunculkan akhlak yang baik. Al Ghazali menerima adanya
kemungkinan perubahan etika, dan bahkan
beliau mengkritik pandangan orang yang menganggap bahwa etika tidak dapat
berubah, dan bahwa etika sejalan dengan akumulasi karakter, dan bahwa etika
adalah cerminan dari batin dan bahwa mujahadah dalam pandangan mereka adalah
sesuatu yang tidak bermanfaat. Al Ghazali menjelaskan bahwa perubahan yang
dimaksudkan bukan perubahan menjadi akhlak yang tercela dari sebuah jiwa
sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian orang, akan tetapi maksudnya adalah
keterhubungan dan pelatihannya.
Demikian itu dilakukan untuk
menemukan manfaat dari ciri-ciri humanistik semua manusia. Sedangkan mengenai
bagaimana cara untuk menyempurnakan perubahan ini, Al-Ghazali memberikan isyarat
untuk melewati beberapa fase terutama: a. Mengetahui etika (akhlak) yang
tercela b. Mengetahui cara-cara pengobatan etika secara umum c. Mengetahui
metode mengukur dan mengobati secara khusus berbagai macam penyakit moral yang
rusak. d. Manusia harus mengetahui aibnya sendiri. e. Mengetahui kondisi
tertentu bagi setiap individu secara mendetail.
Etika (akhlak) menurut Al Ghazali
adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana
perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang
yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia
secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan risiko. Demikian juga orang
yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali
secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawuf-nya dalam buku Ihya
‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawuf-nya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi akhlaqillahi ‘ala taqatil
basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi syifatir rahman’ala
thaqatil basyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan
seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya. Dalam Ihya
‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan
mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal ath-thaharah ia tidak hanya
mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam
penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat
menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan
pangkal dari segala jalan pembersih rohani. Al-Ghazali melihat sumber kebaikan
manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub)
kepada Tuhan.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara
dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama
sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani, yang menganggap Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama
sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip
Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya
pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.Bagaimana cara ber-taqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan
beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang
terpenting ialah al-muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan
al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu
ada dua tingkatan, yakni kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah).
Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak
mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari
segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu
mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit pun, dan dengan penyaksian hati yang
sangat yakin (musyahadah al-qalbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu,
manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar
dilukiskan.
Tampaknya, Al Ghazali ingin
menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam.
Menurut Amin Abdullah, Al Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya,
al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama –atau bahkan
satu-satunya– dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi
rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran
al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika
al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al Ghazali menyusun
teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti
untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Etika atau akhlak menurut pandangan
al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan
(qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan
jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama
dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan
tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa
manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan
daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.
Menurut al-Ghazali watak manusia
pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah
lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu
tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn
Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât
al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada
sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau[9]. Untuk mencapai ini
manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun
yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini.
F.
Hubungan Sebab-Akibat Menurut Al-Ghazali
Menurut
al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy
(kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti
berlaku tetapi keduanya memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh,
antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan.
Artinya, orang makan tidak meniscayakan dia merasa kenyang. Begitu pula kertas
tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain.
Semua itu hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Karena itu, kalau kertas yang terbakar karena terkena api, orang makan
menjadi kenyang, dan kain dan kertas basah karena terkena air, itu semua
semata-mata hanya karena kekuasaan dan iradah Allah.
Hukum
kausalitas bukan merupakan hukum yang pasti, tetapi hukum kemungkinan belaka,
seseorang tidak dapat memastikan hukum kausalitas karena alam penuh dengan
misteri. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, sedangkan yang lain belum.
Karena itu al-Ghazali berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa yang ada di alam ini
hanya terjadi secara kebetulan dan berjalan berurutan karena kebiasaan, bukan
atas dasar kemestian.
Al-Ghazali
mengungkapkan lebih lanjut “Sesungguhnya hubungannya terjadi karena Allah SWT
telah menentukan penciptaannya secara berurutan, bukan karena musti pada
dirinya tanpa menerima pengecualian. Bahkan, Tuhan mampu menciptakan kenyang
tanpa makan, filosof mengingkari kemungkinan itu dan menyatakan
kemustahilannya”. Menurutnya hubungan itu tidaklah menjadi sesuatu yang penting
sebab hal itu bukan merupakan jaminan untuk terwujudnya suatu akibat. Dengan
demikian api tidak selalu membakar, potong leher belum tentu mengakibatkan
kematian. Semuanya hanya hukum kebiasaan saja, sebab Allah berkuasa untuk
mengubah semua itu. Api membakar disebabkan oleh Tuhan, adapun api menurut para
filosof adalah pelaku langsung dari kebakaran dan sifat yang demikian sudah
merupakan kepastian sifat api.
Dalam kasus
terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api , terdapat dua kemungkinan,
pertama, kemungkinan suatu kontak antara keduanya tanpa terjadinya kebakaran,
dan kemungkinan kedua, perubahan kapas menjadi abu tanpa pertemuan dengan api,
para filosof mengingkari hal ini. Argumen yang mungkin dalam hal ini, pelaku
kebakaran hanyalah api, ia menjadi pelaku karena karekter dasarnya dan bukan
karena keinginan yang bebas. Api merupakan benda mati dan tidak mempunyai
perbuatan apa-apa.
Apa bukti yang
menyatakan bahwa api adalah pelaku? Dinyatakan al-Ghazali argumen para filosof
hanya merupakan kesimpulan dari hasil observasi melalui pengamatan emperis
terhadap fakta terjadinya kebakaran ketika terjadinya kontak dengan api. Tetapi
observasi dengan pengamatan empiris hanya menujukan bahwa terjadi sesuatu pada
benda karena bersamaan dengan kontak dengan yang lain, bukan karena disebabkan
yang lain tersebut, tanpa menyebutkan kemungkinan yang lain.
Menurut
al-Ghazali bagaimana seseorang bisa membuktikan bahwa api itu sebagai pelaku.
hal itu hanya menujukan bahwa peristiwa yang satu beriringan dengan yang lain,
menurut al-Ghazali Tuhan mampu membuat warna hitam (abu) pada kapas walaupun
tidak disentuh oleh api, lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa api bukan
sebagai pelaku sebenarnya, sebab jika seseorang membunuh orang lain dengan
melemparkannya ke api, tentu pengamat mengatakan bukan api yang membunuh orang
itu tapi pelaku pembunuhan adalah orang tersebut, kendati api adalah sebab
langsung.
Karena itu
al-Ghazali berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang beriringan timbulnya
membuat seseorang yakni bahwa fenomena yang muncul lebih awal adalah sebab bagi
yang berikutnya, padahal itu hanya kebiasaan yang tidak mendatangkan kemestian.
Sebab Allah menjadikan hal yang demikian dan Dia berkuasa untuk mengubah sifat-sifat yang ada jika
dikehendaki-Nya. Menurut al-Ghazali peristiwa yang menyalahi hukum alam bisa
saja terjadi sewaktu-waktu sebab semua berada dalam kekuasaan dan ilmu Allah.
G. Kritik al-Ghazali terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Telah dimaklumi bahwa hampir semua filosof Muslim dalam penciptaan alam
semesta menganut filsafat emanasi. Dalam perkembangan sejarah intelektual Islam
emanasionisme ini mencapai taraf kesempurnaan pada tangan Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Menurut mereka Allah menciptakan alam secara emanasi (pancaran) semenjak
kidam dan azali. Sebagai khaliq al-Aalam, Allah mencipta sejak Ia wujud
dan antara Ia dan ciptaan-Nya tidak diantarai oleh zaman. Oleh karena itu,
menurut mereka, asal alam semesta ini kadiam dan azali. Namun, kadimnya alam
ini mereka sebut dengan taqaddum zamani (keberadaannya tidak didahului
oleh zaman), sedangkan kadimnya Allah mereka sebut dengan taqaddum zaati, (keberadaan-Nya
tidak didahului oleh apapun, Ia ada sendiri, pencipta alam).
Jadi, menurut para filosof Muslim, Allah menciptakan alam dari sesuatu
yang sudah ada, yakni dari hasil ta’aqqul (memikirkan) Allah terhadap
zat-Nya. ketika Allah berta’aqqul,, maka muncullah energi yang
mahadahsyat, yang kemudian memadat menjadi al-Hayuulaa al-Uula sebagai
materi asal alam semesta.
Pandangan para filosof Muslim di atas sejalan dengan kenyataan yang ada
di alam. Di alam ini yang ada hanyalah penciptaan dari sesuatu yang sudah ada,
atau dari suatu bentuk (shurah) berubah menjadi bentuk yang lain. biji,
misalnya, berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong
menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja, meja using menjadi bahan
bakar, bahan bakar dibakar menjadi abu, dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak
ada begitu saja, begitu pula pohon dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan
konsep penciptaan dalam Al-Quran.
Al-Ghazali dalam buku Tahaafut al-Falaasifat mengkritik para filosof
Muslim yang mengemukakan filsafat emanasi ini (Al-Farabi dan Ibnu Sina).
Menurutnya, melimpahnya akal-akal dari Allah adalah angan-angan yang
dibuat-buat, pada hakikatnya merupakan kegelapan di atas kegelapan. Jika hal
ini diceritakan oleh orang yang sedang tidur pertanda bahwa akalnya telah
rusak.[2]
Sisi lain kritik Al-Ghazali terhadap klaim para filosof Muslim adalah
bahwa Allah hanya memikirkkan diri-Nya, sedangkan akal-akal dapat memikirkan
Allah dan dirinya. Pendapat seperti ini, menurut Al-Ghazali, telah menempatkan
Allah lebih rendah atau hina dari ciptaan-Nya. Allah hanya bisa memikirkan
zat-Nya, sedangkan makhluknya (akal-akal) bisa memikirkan Allah dan bisa pula
memikirkan yang lain (dirinya). Pandangan ini tentu saja akan membawa pada kesimpulan
bahwa akal-akal yang melimpah dari Allah lebih sempurna dan lebih mulia
kedudukannya daripada Allah.[3]
Begitu pula menurut para filosof Muslim, pada zat Allah hanya satu yang
memancar, karena dalam prinsip emanasi, al-Waahid laa yashdur ‘anh illa waahid,
dari yang satu hanya keluar satu, sedangkan pada wujud yang lain bisa
keluar lebih dari satu. Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, para filosof
Muslim tidak lagi mengagungkan Allah sebagai Zat Yang Maha Sempurna. Mereka
telah menempatkan Allah bagaikan orang yang telah mati, hanya bedanya, orang
yang telah mati tidak bisa lagi berpikir dan mengetahui dirinya, sedangkan
Allah masih bisa berpikir dan mengetahui dirinya.
Kritikan Al-Ghazali di atas erat hubungannya dengan pemahamannya sebagai
seorang tokoh al-Asy’ary. Secara pasti ia tidak mungkin menerima paham emanasi
ini yang berdasarkan pemikiran rasional
terhadap paham keagamaan, sedangkan ia sendiri bertolak dari kekuasaan kehendak
mutlak Allah.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ghazali merupakan seorang ulama yang memiliki pemikiran yang luar
biasa dan menguasasi ilmu dalam berbagai macam bidang terutama dalam ilmu
filsafat. Ada beberapa pembahasan mengenai filsafat yang beliau tulis dan
tulisan yang mengguncang dunia filsafat Islam ketika beliau mengkritik
pemikiran para filosof yang menurutnya keliru seperti di dalam bukunya Tahaafut
al-Falaasifat.
Dalam perjalanannya untuk mencapai kebenaran dengan melalui jalan kalam,
batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya dalam mencari kebenaran
tersebut terutama melalaui jalan kalam, batiniyah, filsafat, beliau masih
berada dalam keragu-raguan dalam mencapai kebenaran. Kemudian dengan jalan sufi
beliau mencari kebenaran tersebut dengan melalui kasyf serta dibarengi dengan
pengetahuan tentang empirisme dan rasionalismenya.
Al-Ghazali memiliki 3 konsep epistimologinya dalam mencapai kebenaran
a) Metode melalui panca indera untuk dunia fisis-sensual
b) Metode penalaran rasional berdasarkan data empiric-sensual atau
scriptural, terutama dengan logika peripatetic
c) Metode kasy melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadhah (latihan
mental-spiritual), berupa tazkiyah
Dalam memahami eksistensi Tuhan, menurutnya adalah sebagai Wajibul
wujud, yang tidak membutuhkan sesuatu apapun, maka ia adalah Zat Tuhan,
yaitu Zat ghair mutahajis artinya tidak memerlukan sesuatu apapun dalam
eksistensi-Nya. Sementara dalam memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,
menurutnya adalah diperoleh dengan cahaya. Cahaya yang diberikan Allah adalah
yang berupa citra akal pikiran manusia, seketika menjadi jernih dan bersih
tanpa adanya intervensi perasaan maupun angan-angan.
Tentang penciptaan alam, beliau pun berbeda dengan para filosof Muslim.
Menurutnya alam ini asalnya tidak ada, dan diadakan atau diciptakan oleh Tuhan.
Maka menurutnya alam ini tidak qadim dan hanya Allah-lah yang qadim. Jika alam
ini qadim maka alam ini tidak diciptakan oleh Allah SWT, menurutnya.
Daftar Pustaka
Madkour,
Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara
Zar,
Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam.
Jakarta: PT Rineka Cipta