Selasa, 13 November 2018

who is al- ghazaly ?







MAKALAH
WHO IS AL- GHAZALI ?
SIAPAKAH SOSOK IMAM AL-GHAZALI
OLEH :
KHAFIDIN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM’16B











KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kebaikan dan karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan sedikitnya bisa diambil ilmunya.
Harapan kami dengan menyelesaikan makalah ini semoga mendapatkan keridahaan Allah SWT. Meskipun makalah ini jauh dari kesempurnaan maka alangkah baiknya jika ada penambahan yang kurangnya mohon kritik  dan sarannyanya.
Oleh karena itu, makalah ini bisa menjadi tambahan ilmu kepada pembaca dan teman-teman semua dan bisa berbuah amal bagi kami.





                                                                                                                                                Bandung, 13 Mei 2018


Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.  Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
C.  Tujuan Penulisan................................................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.  Biografi Al-Ghazali............................................................................................ 2
B.  Epistimologi Filsafat Al-Ghazali........................................................................ 3
C.  Teori Ketuhanan Menurut Al-Ghazali............................................................... 8
D.  Pencipta Alam Semesta Menurut Al-Ghazali.................................................... 10
E.   Etika Dalam Pandangan Al-Ghazali.................................................................. 11
F.   Hubungan Sebab-Akibat Menurut Al-Ghazali.................................................. 15
G.  Kritik Al-Ghazali Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim.................... 16
BAB III: PENUTUPAN...................................................................................... 19
A.    Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 20




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam dunia Islam, Filsafat menjadi kajian yang gencar dibahas oleh para filosof Muslim dan sempat terjadi perdebatan dan pertikaian dalam memahami tentang ketuhanan, emanasi atau penciptaan alam, jiwa. Takdir dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan pendapat tidak terelakan di antara para filosof Muslim yang kemudian sempat mundurnya kajian filsafat dalam dunia Islam. Salah satu ulama yang menkritik dengan pemikiran para filosof adalah Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali.
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim banyak yang keliru terutama mengenai penciptaan alam yang banyak dirumuskan oleh mereka dengan teori emanasinya. Dalam bukunya Tahaafut al-Falasifat, beliau mengkritik pemikiran para filosof yang menurutnya keliru, sekitar ada dua puluh masalah dana da 3 masalah yang menurutnya para filosof keluar dari keislaman.
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariah, menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini.
Dengan pemikiran-pemikiran yang brilian dan kritiknya terhadap para filosof Muslim dalam kajian filsafat menjadi pembahasan yang sangat menarik untuk dipelajari dan ditelusuri lebih dalam. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang “Epistimologi Islam Menurut Al-Ghazali.”
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa Al-Ghazali?
2.      Bagaimana pemikirannya dalam filsafat Islam?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Unruk mengetahui siapa Al-Ghazali
2.      Untuk mengetahui pemikirannya dalam Filsafat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khusrasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ia (orang tuanya) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama.
Al-Ghazali merupakan seorang ahli hukum, teolog filosof, dan sufi. Pertama-tama Al-ghazali memusatkan perhatiannya pada pelajaran yurisprudensi (fiqh) dengan salah seorang Radzkani, kemudian berpindah ke Jurjan di mana ia meneruskan studinya dengan Abu Qasim al-Isma’ili. Meskipun begitu, gurunya yang paling besar adalah Al-Juwayni, seorang teolog Asy’ari yang terkemuka saat itu. Al-Juwayni memprakarsai muridnya yang brilian ini ke dalam studi kalam, filsafat dan logika. Perkenalannya dengan teori dan praktek mistikisme adalah berkat jasa al-Farmadzi, seorang sufi terkemuka saat itu.
Pada tahun 1091 sampai 1095, Al-Ghazali dipercaya sebagai kepala sekolah Nidhamiyah Bagdad, memberikan kuliah dalam bidang ilmu hukum dan teologi dengan memperoleh sukses yang besar. Situasi politik yang rawan saat itu, dan kematian nidham al-Mulk akibat tindak kekerasan seorang pembunuh Isma’iliyyah pada tahhun 1092 disusul kemudian oleh kematian Sultan Malikshah, tampaknya telah menambah beban kekecewaannya yang berangsur-angsur terhadap kegiatan mengajarnya. Prakarsanya ke dalam praktek jalan sufi, antara 1093-1094, tidak pelak lagi menambah keyakinannya akan kesia-siannya suatu karier yang tidak diabadikan kepada pencarian kebenaran yang tanpa pamrih atau pengabdian kepada Tuhan.
Selama waktu itu ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati oleh lahiriyah (fisioterapi). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 484 H, untuk menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih dua tahun, dengan jalan tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Banyak para filosof mengakui bahwa Ghazali adalah memiliki suatu keganjilan di zamanny itu, dalam penyelidikan dan ketajaman otaknya. Banyak ilmu yang dipelajarinya dan dalam perantauannya mencari ilmu itu tidak lupa beliau terjun dalam renungan tasawuf, merenung dan memikirkan rahasia alam dan rahasia hidup. Dari renungan dan pemikirannya itu didapatinya pegangan utama dalam hidup beragama, yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Buah penanya yang mengagumkan zamannya menyebabkan Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (pembela Islam) dan Zainuddin (hiasan agama).
Dalam filsafat Islam Ghazali dikenal sebagai orang yang pada mulanya ragu terhadap segala-galanya, terutama mengenai beberapa aliran dalam ilmu kalam yang saling bertentangan. Aliran manakah yang betul-betul benar di antara aliran-aliran itu itu menjadi renungan beliau.
Zaman al-Ghazali ini memang terkenal dengan zaman yang penuh pertikaian da pertentangan. Dengan adanya pertikaian dan pertentangan besar itu, Al-Ghazali mulai kehilangan pegangan dan berusaha mendapatkan pegangan teguh kembali dengan jalan menyelami lubuk filsafat dan agama.
Karya-Karya Al-Ghazali di antaranya;
1)      Tahaafatut al-Falasifat
2)      Al-Munqiz min adl Dlalal
3)      Ihya Ulumuddin
4)      Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
5)      Maqasid al-Falaasifat
6)      Mizan al-‘Amal

B.     Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah, serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun bila ditelaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya, maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku”. (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi.” (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
“Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama.” (Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
“……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Al-Ghazali membentuk 3 konsep epistemologinya :
Ia mengenal tiga macam sarana pokok pencapain ilmu sesuai obyek masing-masing, yaitu pancaindera untuk dunia fisis-sensual, akal untuk dunia rasional, dan intuisi untuk dunia transrasional sampai batas tertentu. Karena itu, untuk memperoleh ilmu non- a priori ada dua metode. Pertama, metode penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau skriptural, terutama dengan logika peripatetik atau mantik dengan ketiga bentuknya (deduksi, induksi dan analogi-komparasi) serta “teori penafsirannya”. Kedua, metode kasyfi melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadlah (latihan mental-spiritual), berupa tazkiyah (pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela), dan tahliyah (pengisian diri dengan segala sifat dan akhlak terpuji), termasuk zikir kepada Allah seperti dalam meditasi. Kedua metode tersebut secara keseluruhan merupakan sebuah sistem pencapaian ilmu yang bisa disebut “Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi ke dalam tiga fase yaitu : fase pra-penelitian, fase epistemologi I (empirik-rasional) dan fase epistemologi II (kasyfi). Dengan demikian, epistemologi al-Ghazali berbeda dengan empirisme-positivisme, rasionalisme (kritis), intuisionisme dan fenomenologi, melainkan sebuah sistem sintetik-integralistik. Ia merupakan kombinasi dari logika peripatetik dengan berbagai unsur lain, termasuk ilmu ushul fiqh dan sufisme.
Sesuai dengan asumsi dasar ontologisnya, yang lebih melihat sesuatu sebagai being qua being, tanpa menapikan aspek proses dan pemahamannya, al-Ghazali menganut konsep kebenaran korespondensial, yaitu bahwa suatu kepercayaan, persepsi, tesis, teori atau hukum, adalah benar jika sesuai dengan realitas obyeknya, dan bahwa kebenaran mengenai obyek yang sama dalam aspek yang sama adalah tunggal. Karena itu penggabungan dua hal yang kontradiktif irrasional. Tetapi pengartikulasian realitas sendiri bisa variatif sehingga dimungkinkan adanya sintesis. Namun demikian al-Ghazali mengakui pula kebenaran koherensial sebatas kebenaran formal-rasional. Ia menolak kebenaran pragmatis dan yang serupa dalam dimensi epistemologi yang berbicara tentang fakta, meskipun fungsi dan nilai pragmatis sesuatu diperhatikan dalam dimensi aksiologinya.
Menurutnya, kebenaran ilmu inferensial (iktisabi) pada dasarnya probable (aktsari), tentatif (zanni) dan testable (nazari, taftisyi, yurajjah al-ba’dl bi al-ba’dl), yakni harus diuji berdasarkan kriteria tertentu, baik secara falsifikatif maupun verifikatif. Kriteria itu sebagai berikut : untuk dunia fisis adalah korespondensialitasnya terhadap obyek menurut bukti- bukti empirik-sensual yang dikontrol oleh akal. Untuk obyek metafisis dan transmetafisis dari sudut falsifikasi adalah konsistensi dan koherensi menurut persyaratan logika peripatetik, dan dari sudut verifikasinya adalah tes religious experiences (pengalaman keagamaan) yang tetap dikontrol oleh akal dan logika.
Al-Ghazali menunjukkan tiga model klasifikasi ilmu, yaitu model ontologis yang berorientasi pada obyek ilmu, model epistemologis yang berorientasi pada sumber ilmu dan cara memperolehnya, dan model aksiologis yang berorientasi pada fungsi dan struktur ilmu dalam kaitannya dengan tujuan akhir ilmu sendiri.
C.    Teori Ketuhanan Al-Ghazali
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariah, menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematika sifat-sifat Allah, al-Ghazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh kaum Hasywiah maupun Muktazilah, karena kedua aliran ini ekstrim. Aliran Hasywiah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Quran dan al-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis. Sebaliknya Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah-tengah. Menurut al-Ghazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-maujudat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Ghazali mengagumi pemecahan masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asy’ari. Pemecehan ini ia tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.[1]
a)      Sumber Pengetahuan tentang Tuhan
Al-Ghazali mengatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah sebagai Wajibul Wujud yang tidak membutuhkan sesuatu apapun, maka ia adalah Zat Tuhan, yaitu Zat ghair mutahajis artinya tidak memerlukan sesuatupun dalam eksistensi-Nya.
Sumber pengetahuan tentang Tuhan adalah melalui kalbu dengan cara pemecahandalam wujud cahaya. Al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa keraguan yang bersifat filosofis dapat mengantarkan pengetahuan indrawi. Pegetahuan tersebut adalah pengetahuan intuitif  yang didapat seseorang melalui akal sehat dengan cara ilmiah, maka tidak ada keraguan sedikitpun.
b)      Cara Memperoleh Pengetahuan tentang Tuhan
Pengetahuan tentang Tuhan menurut Al-Ghazaki diperoleh lewat cahaya. Cahaya yang diberikan Allah adalah yang berupa citra akal pikiran manusia, seketika menjadi jernih dan bersih tanpa adanya intervensi perasaan maupun angan-angan. Manusia dapat memperoleh cahaya tersebut, sebab merupakan mkhluk Allah yang sesuai citra-Nya dan cahaya yang ada pada-Nya.


D.    Penciptaan Alam Semesta menurut Al-Ghazali
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
            Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
E.     Etika dalam Pandangan Al Ghazali
Bisa dikatakan, Al-Ghazali adalah orang pertama yang memproklamirkan kajian tentang etika. Studi-studi tentang etika sebelumnya tidak begitu sempurna sampai akhirnya beliau menggelutinya dengan memberikan penjelasan dan sistematika yang runtut dan pemahaman yang mendalam. Beliau lah orang Islam yang pertama kali membukukan disiplin etika dengan kajian filosofis. Beliau menyusunnya berdasarkan semangat keislaman sufistik dan menggunakan berbagai studi filosofis. Al-Ghazali memberikan nama ilmu ini dengan beberapa nama seperti,  “Ilmu Jalan Menuju Akhirat”, “Ilmu Akhlak”, “Rahasia-rahasia interaksi keagamaan”  dan juga “Akhlak orang-orang baik”. Ilmu etika menurut Imam Al-Ghazali merupakan ilmu praktis dan bukan ilmu melalui proses penyingkapan.
Ilmu etika adalah ilmu yang membahas tentang amal perbuatan lahiriyah dan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang agar perilakunya sesuai dengan semangat syariat. Menurut Imam Al-Ghazali akhlak memiliki empat makna: 1. Perbuatan baik dan buruk. 2. Kemampuan untuk melakukan keduanya 3. Kemampuan untuk mengetahui keduanya. 4. Kecenderungan jiwa kepada perbuatan baik dan buruk. Teori Al-Ghazali ini sejalan dengan empat teori keutamaan yang yang diserukan oleh Plato yaitu: hikmah (wisdom) kebijaksanan, keberanian, kesucian dan keadilan.
Beliau berpandangan bahwa keutamaan merupakan moderasi antara dua ekstrimitas yang juga dikembangkan oleh Aritoteles. Beliau berkata, “Barang siapa yang mampu menyeimbangkan perkara ini dan mampu menjadikan itu sebagai kebiasaanya maka itulah yang disebut dengan akhlak baik secara mutlak, dan barang siapa yang mampu melakukan itu sebagiannya saja sedangkan sebagian yang lain tidak dilakukan maka itu termasuk akhlak baik”. Artinya orang yang memperbaiki beberapa bagiannya saja tanpa yang lain, dan memperbaiki potensi amarahnya, serta menyeimbangkannya disebut sifat baik, sedangkan orang yang memperbaiki potensi syahwat dan menyeimbangkannya dianggap telah menjaga kehormatan. Jika potensi amarah lebih dominan daripada penyeimbang yang membawa kepada semakin bertambahnya syahwat disebut ektrim. Jika potensi amarah cenderung semakin mengendor maka itu disebut penakut dan dianggap sebagai sebuah kelemahan. Jika potensi syahwat cenderung bertambah maka yang demikian itu disebut tamak atau loba. Jika potensi syahwat cenderung melemah maka yang demikian itu disebut statis, sedangkan sifat statis termasuk sifat yang hina dan tercela.
Hikmah adalah kondisi jiwa yang dapat mengetahui perbuatan baik dari perbuatan salah pada semua perbuatan yang telah dipilih oleh seseorang. Yang dimaksud dengan keadilan adalah kondisi atau kemampuan jiwa mendeteksi perasaan marah dan syahwat serta dapat membawa keduanya ke puncak hikmah, mendeteksi keduanya secara bebas dan mampu menekannya sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan keberanian adanya kekuatan amarah yang berawal dari rasio dalam menunjukkan sekaligus mengisinya. Sedangkan yang dimaksud dengan iffah adalah meminjam potensi syahwat dengan manajemen akal dan manajemen agama.
Keseimbangan dari prinsip-prinsip ini semuanya akan memunculkan akhlak yang baik. Al Ghazali menerima adanya kemungkinan perubahan etika,  dan bahkan beliau mengkritik pandangan orang yang menganggap bahwa etika tidak dapat berubah, dan bahwa etika sejalan dengan akumulasi karakter, dan bahwa etika adalah cerminan dari batin dan bahwa mujahadah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang tidak bermanfaat. Al Ghazali menjelaskan bahwa perubahan yang dimaksudkan bukan perubahan menjadi akhlak yang tercela dari sebuah jiwa sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian orang, akan tetapi maksudnya adalah keterhubungan dan pelatihannya.
Demikian itu dilakukan untuk menemukan manfaat dari ciri-ciri humanistik semua manusia. Sedangkan mengenai bagaimana cara untuk menyempurnakan perubahan ini, Al-Ghazali memberikan isyarat untuk melewati beberapa fase terutama: a. Mengetahui etika (akhlak) yang tercela b. Mengetahui cara-cara pengobatan etika secara umum c. Mengetahui metode mengukur dan mengobati secara khusus berbagai macam penyakit moral yang rusak. d. Manusia harus mengetahui aibnya sendiri. e. Mengetahui kondisi tertentu bagi setiap individu secara mendetail.
Etika (akhlak) menurut Al Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan risiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawuf-nya dalam buku Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawuf-nya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi akhlaqillahi ‘ala taqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi syifatir rahman’ala thaqatil basyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya. Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal ath-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersih rohani. Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) kepada Tuhan.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani, yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.Bagaimana cara ber-taqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yakni kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan. Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit pun, dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin (musyahadah al-qalbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.
Tampaknya, Al Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, Al Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama –atau bahkan satu-satunya– dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.
Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau[9]. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini.


F.     Hubungan Sebab-Akibat Menurut Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku tetapi keduanya memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak meniscayakan dia merasa kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semua itu hanya merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Karena itu, kalau kertas yang terbakar karena terkena api, orang makan menjadi kenyang, dan kain dan kertas basah karena terkena air, itu semua semata-mata hanya karena kekuasaan dan iradah Allah.
Hukum kausalitas bukan merupakan hukum yang pasti, tetapi hukum kemungkinan belaka, seseorang tidak dapat memastikan hukum kausalitas karena alam penuh dengan misteri. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, sedangkan yang lain belum. Karena itu al-Ghazali berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa yang ada di alam ini hanya terjadi secara kebetulan dan berjalan berurutan karena kebiasaan, bukan atas dasar kemestian.
Al-Ghazali mengungkapkan lebih lanjut “Sesungguhnya hubungannya terjadi karena Allah SWT telah menentukan penciptaannya secara berurutan, bukan karena musti pada dirinya tanpa menerima pengecualian. Bahkan, Tuhan mampu menciptakan kenyang tanpa makan, filosof mengingkari kemungkinan itu dan menyatakan kemustahilannya”. Menurutnya hubungan itu tidaklah menjadi sesuatu yang penting sebab hal itu bukan merupakan jaminan untuk terwujudnya suatu akibat. Dengan demikian api tidak selalu membakar, potong leher belum tentu mengakibatkan kematian. Semuanya hanya hukum kebiasaan saja, sebab Allah berkuasa untuk mengubah semua itu. Api membakar disebabkan oleh Tuhan, adapun api menurut para filosof adalah pelaku langsung dari kebakaran dan sifat yang demikian sudah merupakan kepastian sifat api.
Dalam kasus terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api , terdapat dua kemungkinan, pertama, kemungkinan suatu kontak antara keduanya tanpa terjadinya kebakaran, dan kemungkinan kedua, perubahan kapas menjadi abu tanpa pertemuan dengan api, para filosof mengingkari hal ini. Argumen yang mungkin dalam hal ini, pelaku kebakaran hanyalah api, ia menjadi pelaku karena karekter dasarnya dan bukan karena keinginan yang bebas. Api merupakan benda mati dan tidak mempunyai perbuatan apa-apa.
Apa bukti yang menyatakan bahwa api adalah pelaku? Dinyatakan al-Ghazali argumen para filosof hanya merupakan kesimpulan dari hasil observasi melalui pengamatan emperis terhadap fakta terjadinya kebakaran ketika terjadinya kontak dengan api. Tetapi observasi dengan pengamatan empiris hanya menujukan bahwa terjadi sesuatu pada benda karena bersamaan dengan kontak dengan yang lain, bukan karena disebabkan yang lain tersebut, tanpa menyebutkan kemungkinan yang lain.
Menurut al-Ghazali bagaimana seseorang bisa membuktikan bahwa api itu sebagai pelaku. hal itu hanya menujukan bahwa peristiwa yang satu beriringan dengan yang lain, menurut al-Ghazali Tuhan mampu membuat warna hitam (abu) pada kapas walaupun tidak disentuh oleh api, lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa api bukan sebagai pelaku sebenarnya, sebab jika seseorang membunuh orang lain dengan melemparkannya ke api, tentu pengamat mengatakan bukan api yang membunuh orang itu tapi pelaku pembunuhan adalah orang tersebut, kendati api adalah sebab langsung.
Karena itu al-Ghazali berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang beriringan timbulnya membuat seseorang yakni bahwa fenomena yang muncul lebih awal adalah sebab bagi yang berikutnya, padahal itu hanya kebiasaan yang tidak mendatangkan kemestian. Sebab Allah menjadikan hal yang demikian dan Dia berkuasa  untuk mengubah sifat-sifat yang ada jika dikehendaki-Nya. Menurut al-Ghazali peristiwa yang menyalahi hukum alam bisa saja terjadi sewaktu-waktu sebab semua berada dalam kekuasaan dan ilmu Allah.
G.    Kritik al-Ghazali terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Telah dimaklumi bahwa hampir semua filosof Muslim dalam penciptaan alam semesta menganut filsafat emanasi. Dalam perkembangan sejarah intelektual Islam emanasionisme ini mencapai taraf kesempurnaan pada tangan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Menurut mereka Allah menciptakan alam secara emanasi (pancaran) semenjak kidam dan azali. Sebagai khaliq al-Aalam, Allah mencipta sejak Ia wujud dan antara Ia dan ciptaan-Nya tidak diantarai oleh zaman. Oleh karena itu, menurut mereka, asal alam semesta ini kadiam dan azali. Namun, kadimnya alam ini mereka sebut dengan taqaddum zamani (keberadaannya tidak didahului oleh zaman), sedangkan kadimnya Allah mereka sebut dengan taqaddum zaati, (keberadaan-Nya tidak didahului oleh apapun, Ia ada sendiri, pencipta alam).
Jadi, menurut para filosof Muslim, Allah menciptakan alam dari sesuatu yang sudah ada, yakni dari hasil ta’aqqul (memikirkan) Allah terhadap zat-Nya. ketika Allah berta’aqqul,, maka muncullah energi yang mahadahsyat, yang kemudian memadat menjadi al-Hayuulaa al-Uula sebagai materi asal alam semesta.
Pandangan para filosof Muslim di atas sejalan dengan kenyataan yang ada di alam. Di alam ini yang ada hanyalah penciptaan dari sesuatu yang sudah ada, atau dari suatu bentuk (shurah) berubah menjadi bentuk yang lain. biji, misalnya, berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon, pohon dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi meja, meja using menjadi bahan bakar, bahan bakar dibakar menjadi abu, dan abu menjadi tanah. Anak pohon tidak ada begitu saja, begitu pula pohon dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep penciptaan dalam Al-Quran.
Al-Ghazali dalam buku Tahaafut al-Falaasifat mengkritik para filosof Muslim yang mengemukakan filsafat emanasi ini (Al-Farabi dan Ibnu Sina). Menurutnya, melimpahnya akal-akal dari Allah adalah angan-angan yang dibuat-buat, pada hakikatnya merupakan kegelapan di atas kegelapan. Jika hal ini diceritakan oleh orang yang sedang tidur pertanda bahwa akalnya telah rusak.[2] 
Sisi lain kritik Al-Ghazali terhadap klaim para filosof Muslim adalah bahwa Allah hanya memikirkkan diri-Nya, sedangkan akal-akal dapat memikirkan Allah dan dirinya. Pendapat seperti ini, menurut Al-Ghazali, telah menempatkan Allah lebih rendah atau hina dari ciptaan-Nya. Allah hanya bisa memikirkan zat-Nya, sedangkan makhluknya (akal-akal) bisa memikirkan Allah dan bisa pula memikirkan yang lain (dirinya). Pandangan ini tentu saja akan membawa pada kesimpulan bahwa akal-akal yang melimpah dari Allah lebih sempurna dan lebih mulia kedudukannya daripada Allah.[3]
Begitu pula menurut para filosof Muslim, pada zat Allah hanya satu yang memancar, karena dalam prinsip emanasi, al-Waahid laa yashdur ‘anh illa waahid, dari yang satu hanya keluar satu, sedangkan pada wujud yang lain bisa keluar lebih dari satu. Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, para filosof Muslim tidak lagi mengagungkan Allah sebagai Zat Yang Maha Sempurna. Mereka telah menempatkan Allah bagaikan orang yang telah mati, hanya bedanya, orang yang telah mati tidak bisa lagi berpikir dan mengetahui dirinya, sedangkan Allah masih bisa berpikir dan mengetahui dirinya.
Kritikan Al-Ghazali di atas erat hubungannya dengan pemahamannya sebagai seorang tokoh al-Asy’ary. Secara pasti ia tidak mungkin menerima paham emanasi ini yang  berdasarkan pemikiran rasional terhadap paham keagamaan, sedangkan ia sendiri bertolak dari kekuasaan kehendak mutlak Allah.[4]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Ghazali merupakan seorang ulama yang memiliki pemikiran yang luar biasa dan menguasasi ilmu dalam berbagai macam bidang terutama dalam ilmu filsafat. Ada beberapa pembahasan mengenai filsafat yang beliau tulis dan tulisan yang mengguncang dunia filsafat Islam ketika beliau mengkritik pemikiran para filosof yang menurutnya keliru seperti di dalam bukunya Tahaafut al-Falaasifat.
Dalam perjalanannya untuk mencapai kebenaran dengan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya dalam mencari kebenaran tersebut terutama melalaui jalan kalam, batiniyah, filsafat, beliau masih berada dalam keragu-raguan dalam mencapai kebenaran. Kemudian dengan jalan sufi beliau mencari kebenaran tersebut dengan melalui kasyf serta dibarengi dengan pengetahuan tentang empirisme dan rasionalismenya.
Al-Ghazali memiliki 3 konsep epistimologinya dalam mencapai kebenaran
a)      Metode melalui panca indera untuk dunia fisis-sensual
b)      Metode penalaran rasional berdasarkan data empiric-sensual atau scriptural, terutama dengan logika peripatetic
c)      Metode kasy melalui mujahadah (perjuangan) dan riyadhah (latihan mental-spiritual), berupa tazkiyah
Dalam memahami eksistensi Tuhan, menurutnya adalah sebagai Wajibul wujud, yang tidak membutuhkan sesuatu apapun, maka ia adalah Zat Tuhan, yaitu Zat ghair mutahajis artinya tidak memerlukan sesuatu apapun dalam eksistensi-Nya. Sementara dalam memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, menurutnya adalah diperoleh dengan cahaya. Cahaya yang diberikan Allah adalah yang berupa citra akal pikiran manusia, seketika menjadi jernih dan bersih tanpa adanya intervensi perasaan maupun angan-angan.
Tentang penciptaan alam, beliau pun berbeda dengan para filosof Muslim. Menurutnya alam ini asalnya tidak ada, dan diadakan atau diciptakan oleh Tuhan. Maka menurutnya alam ini tidak qadim dan hanya Allah-lah yang qadim. Jika alam ini qadim maka alam ini tidak diciptakan oleh Allah SWT, menurutnya.
Daftar Pustaka
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta











[1] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hal. 74-75
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, hal. 182-183
[3] Ibid hal. 184
[4] Ibid 184-185